Soni Irawan telah aktif dalam medan seni rupa Indonesia lebih dari dua dekade, dan selama rentang waktu tersebut, publik telah melihat bahwa posisinya sebagai seniman rupa merupakan sesuatu yang bersanding dengan aktivitasnya sebagai musisi, nyaris dalam porsi yang seimbang. Karya-karya rupanya mendapatkan spirit dan pengaruh yang besar dari aspek musik, tidak hanya berkait tema, tetapi juga pendekatan, metode atau semangat kebebasan.
Yang menarik, karya-karya Soni Irawan yang sejak awal juga menunjukkan pengaruh besar dari masuknya Gaya seni jalanan, cenderung tidak terikat tema. Ia membangun citra-citra visual yang didorong oleh cara pandangnya yang spontan atas dunia. Tembok jalanan jelas bukanlah ruang kosong; jalan ada arena kontestasi kekuasaan dan kehidupan, dan yang sering terjadi. Dan proses ini bukanlah sesuatu yang secara eksplisit tampak dalam karya- karya Soni Irawan, meskipun pada periode awal karirnya ia sempat menjadi bagian dari gerakan seni jalanan yang luas di Yogyakarta. Karya- karya Soni Irawan lebih mencerminkan proses kerja seorang seniman studio, dengan ide yang terakumulasi dari bagaimana ia mengamati situasi di sekitarnya. Seri yang diciptakan selama pandemi secara lebih langsung terhubung dengan tema yang memang mengguncang kehidupan manusia ini. Secara visual kita melihat ia menggunakan warna-warna yang lebih gelap ketimbang karya-karya sebelumnya, biru atau beberapa hitam, yang seperti menegaskan mood hidup manusia yang memasuki lorong ketidakpastian akibat pandemi. Warna- warna ini dengan cukup jelas menunjukkan perubahan signifikan dalam nuansa karyanya. Warna latar yang gelap justru membuat objek-objek visual dalam kanvasnya menjadi semakin jelas dan kontras, dan kita bisa mengamatinya dengan lebih detil.
Selama masa pandemi, Soni membuat seri lukisan yang mencatat jumlah penderita (korban) virus corona yang tercatat di Indonesia setiap bulannya. Judul-judul lukisan pada seri ini adalah angka yang menunjukkan akumulasi jumlah penderita corona. Beberapa karya dibuatnya selama masa residensi di
Bali di Padang Galak Art Residency, di mana ia sendiri menyaksikan dampak pandemi terhadap sektor pariwisata di pusat turisme dunia tersebut. Kehidupan ekonomi yang terguncang, infrastruktur wisata yang sepi dan terlupakan, serta mereka yang kehilangan mata pencaharian. Dua lukisan terakhir yang dibuat saat pandemi telah berlangsung selama satu tahun, yakni seri survivors #1 dan survivors #2, merupakan semacam elegi untuk mengenang situasi tak terduga ini. Soni mulai menggunakan kembali warna-warna latar yang cukup terang, seperti karya- karya yang dibuat pada masa Pra-pandemi. Ada simbol-simbol baru muncul dalam dua seri karya ini yang sangat dipengaruhi oleh imajinasi tentang virus, pandemi dan pemikiran tentang masa depan kemanusiaan. Apakah kembalinya warna-warna cerah ini juga berarti datangnya sebuah harapan? Bahwa ada hidup baru yang mesti segera dimulai?
Berkait judul pameran “Crop Season”, Inspirasi teknik crop diambilnya dari cara membuat lagu di Six Sick Seek : jam session direkam kemudian rekaman jam session itu dipotong bagian yang paling bagus dan dianggap menarik. Bagian yang menarik diulang-ulang dibuat versi edit atau remix. Demikian pula pendekatannya dalam seri lukisan ini di mana ia memilih satu bagian dari sebuah lukisan, kemudian mengulang pola gambar tersebut di lukisan lainnya, begitu seterusnya.
Pameran ini menjadi penanda upaya Soni Irawan untuk menggunakan momentum pandemi sebagai sebuah titik untuk menemukan cara kerja baru sebagai seniman. Ada teknik penciptaan baru yang dieksplorasi. Selain itu, ia juga membangun narasi yang lebih utuh dalam seri karya ini, yang dapat dikenangnya di masa depan sebagai cara untuk merekam sebuah tragedi kemanusiaan.
Teks oleh Alia Swastika
Crop
Season
June 1 - June 30 2021